Jumat, 29 Maret 2013

INSPIRASI SI RENTA

Sesosok renta yang sudah lama ku kenal karena ketaatnnya menjalankan sholat berjamaah di mushola kecil tempat kami biasa menuntut ilmu. Dia hidup sendiri, istri dan anaknya menjadi korban gempa Bantul pada tahun 2006 kala itu. Benar-benar sebatang kara dalam usia yang renta, dimana orang tua yang lain di usia itu adalah masa-masa dimanjakan oleh anak-anaknya karena masa puber kedua. Tapi tidak dengan dia.


Semangat yang luar biasa patut aku contoh darinya. Terkadang aku benar-benar ingin mengasihaninya dengan sedikit yang aku punya. Tapi diri ini sungkan, karena dia sangat terlihat tidak ingin dikasihani. Sikap dia menunjukkan bahwa seakan-akan raganya berkata "Walaupun saya tua, tapi saya masih bisa berbuat apa saja yang saya mau termasuk menghidupi diri saya sendiri". Tak banyak yang punya sikap seperti itu. 
Hari ini 30 Maret 2013 terjadi peristiwa yang membuat aku kembali berlinang air mata. Memang dalam hal ini aku sangat terlihat cengeng. Lagi-lagi objeknya adalah Si Renta itu. Adzan Duhur untuk Yogyakarta dan sekitarnya termasuk Bantul, lebih spesifiknya Jonggalan Miri, Jetis. Seperti hari-hari biasa mushola kecil itu hanya ramai dikunjungi orang-orang yang memang tidak muda lagi, termasuk Si Renta itu, hanya beberapa yang muda, termasuk aku. Dan aku memposisikan sebagai pendatang yang tak punya kewajiban untuk memanggil jama'ah untuk segera ke mushola (Read:adzan). Agak terlambat aku datang, ketika masuk mushola ada pemandangan yang menurut aku kurang nyaman, dimana terlihat beberapa butir pasir berserakan di shaf sholat. Seketika aku teringat seseorang anak kecil yang merupakan cucu dari salah satu jama'ah disitu yang memang sudah terbiasa memperbuat itu. Tapi tidak saat itu, karena si anak sedang tidak terliat mondar-mandir dengan kebiasaannya naik turun mushola dengan membawa sedikit pasir. Tersentak hati kala melihat dibalik telapak kaki Si Renta yang sedang melakukan sholat kobla' duhur, tertempel beberapa pasir hitam yang terlihat masih basah. Tidak pernah aku berpikir untuk memarahi si renta dengan alasan si renta tidak mampu menjaga kesucian tempat suci tersebut. Yang terpikir saat itu adalah semoga Allah melihat semangat si renta dari ketidaksadarannya. Aku penasaran kenapa bisa ada pasir dibalik telapak kakinya padahal harusnya mereka sudah tidak berada disitu dan sudah terbuang bersama dengan air wudhu si renta. Aku berbalik ke tempat dimana biasa si renta meletakkan alas kakinya dan sesaat untuk menunda sholat kobla' duhur demi penasaran itu.
Terbelalak mata ketika melihat sepasang alas kaki yang benar-benar memprihatinkan, bukan maksud menghina, tetapi itulah adanya. Andai si alas kaki mampu berbicara pada si pemilik (Read: si renta) maka dia akan protes karena dia bukanlah ukuran dari kaki si renta. Wajar ketika pasir kembali tetap menempel di kaki si renta, karena sebagian besar tumit kakinya tidak beralaskan alas kaki karena. Kronologisnya adalah si renta berwudhu di rumah, pada saat perjalanan ke mushola dengan menggunakan alas kaki yang bukan ukurannya, maka pasir di perjalanan menempel di kakinya tanpa sadar dari si renta.
Peristiwa itu aku pikir bukanlah kesalahan si renta, spontan terbersit inginku memberikan alas kaki buat si renta. Tapi kembali lagi-lagi merasa tidak enak kepada si renta. Akhirnya aku putuskan untuk membeli alas kaki besar sesuai dengan kakinya dan berencana untuk aku berikan kepadanya lewat perantara orang lain, tanpa harus si renta tau siapa yang telah memberikan alas kaki tersebut.

CATATAN:
Secara kasat mata ketika orang berbuat kesalahan adalah mutlak kesalahan dia sendiri. Tapi jika mau berpikir objektif dan tidak semerta-merta menghakimi orang lain dengan kesalahannya, maka akan terlihat sumbangsih kita dalam kesalahan tersebut. Karena kita terlalu tidak peduli dan sangat egois. Lewat tulisan ini, marilah kita berusaha menjadi orang yang perduli dengan sekitar kita dan tidak dengan mudah menghakimi hal yang terlihat sebuah kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar